---RADIOLOGY INFORMATION CENTER created by Sumarsono.Dipl.Rad,S.Si----
Custom Search

JAMINAN KUALITAS RADIOGRAFI

Defenisi Jaminan Kualitas Radiograf

Aspek-aspek yang menjadi sasaran utama dari program asuransi kualitas gambar adalah, pertama dapat menghasilkan gambar yang dapat memberikan nilai diagnostik semaksimal mungkin sehingga dapat membantu dalam proses terapi suatu penyakit. Sasaran ini mengandung arti peningkatan kualitas jasa. Kedua, hendaknya dalam semaksimal mungkin dengan mengikuti konsep ALARA (As.low as reaneble schievable). Ketiga dalam pembuatan radiograf dapat menekan biaya produksi semaksimal mungkin, salah satu upayanya dengan tidak melakukan pengulangan foto.

Dalam melakukan suatu kegiatan manajemen mutu, peningkatan jaminan kualitas dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap Quality Assurance (QA) radiodiagnostik di kalangan pekerja radiasi. Kontrol kualitas atau Quality control (QC) merupakan bagian dari jaminan kualitas (Quality assurance).


Quality Control adalah suatu kegiatan meneliti mengembangkan, merancang dan memenuhi kepuasan konsumen, memberikan pelayanan yang baik dimana pelaksanaannya melibatkan seluruh kegiatan dalam radiologi mulai dari pimpinan teratas sampai staf radiologi.
Pada dasarnya, tujuan Quality control adalah manajemen jumlah film yang ditolak dan upaya membatasi terjadi pengulangan. Dalam pembuatan radiograf secara nyata akan membatasi bertambahnya radiasi yang diterima oleh pasien.
Reject Analisis program adalah metode yang digunakan oleh depertemen radiologi untuk menentukan Analisys film yang ditolak untuk efektifitas biaya konsitansi dan peralatan dalam menghasilkan radiograf yang berkualitas. Pada dasarnya Reject Analisys merupakan umpan balik dari proses pembentukan radiograf yang menggunakan sebab-sebab ditolaknya oleh dokter spesialis radiologi. Dalam hal ini radiograf yang tidak mampu menyajikan informasi diagnostik yang memadai bagi penegakan diagnosa.
Manfaat yang dapat di ambil dari pelaksanaan program Reject Analisys, ini yaitu untuk mempertahankan konsisitensi Quality radiograf. Menekankan dosis radiasi terhadap pasien dengan jalan tidak melakukan pengulangan foto dan dapat menekan biaya produksi dalam unit instalasi radiologi.
2. Jaminan Mutu Radiologi
Asal dari manajemen mutu modern dapat ditelusuri pada awal tahun 1900, oleh pekerja insinyur industri yang bernama Frederick Winslow Taylor. Kemudian di Amerika manajemen mutu tidak hanya diterapkan di bidang industri tetapi juga di bidang pelayanan kesehatan, termasuk radiologi.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) memberikan batasan penjaminan kualitas dalam bidang radiologi diagnostik sebagai berikut :

”Usaha terorganisasi yang dilakukan oleh staf yang mengoperasikan untuk menjamin bahwa gambar diagnostik yang dihasilkan oleh fasilitas tersebut memiliki kualitas cukup tinggi sehingga dapat memberikan informasi diagnostik secara konsisten dengan biaya yang minimum dan dengan paparan radiasi sekecil mungkin yang diterima pasien”
Jadi esensinya, sasaran program penjaminan mutu dalam pelayanan radiologi diagnostik adalah memantau performa dari seluruh komponen atau faktor yang dapat mempengaruhi kualitas gambar dan usaha memperkecil adanya pemborosan film dalam bagian radiologi. Justifikasi riil dari upaya penjaminan kualitas dan pengendalian kualitas adalah tertuju pada hasil yang diharapkan dapat dicapai yaitu dalam ungkapan internasional dikenal dengan 3D (Dose, Diagnosis, Dollars), yang maknanya dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Dose (dosis), meminimalkan dosis radiasi terhadap pasien sehingga manfaat pemeriksaan dapat melebihi resiko. Sementara mengurangi dosis pasien berarti juga mengurangi dosis terhadap personel
b. Diagnosis, mengurangi dosis radiasi sembari menjaga dan meningkatkan kualitas gambar atau informasi diagnostik berarti telah mengoptimasi diagnosis atau dengan kata lain diagnosis dapat ditegakkan.
c. Dollars, dengan mengurangi jumlah pengulangan dalam pemotretan, utilisasi dari sumber daya dapat ditingkatkan dan pengurangan jumlah film dan bahan lainnya pada akhirnya mengurangi biaya pemeriksaan dan penghematan biaya (http://cafe-radiologi.blogspot.com/2010/09/konsep-mutu-dan-penjaminan-mutu-).



3. Jaminan Mutu QA (Quality Assurance)
Jaminan mutu atau QA adalah keseluruhan dari program manajemen (pengelolaan) yang diselenggarakan guna menjamin pelayanan kesehatan prima dengan cara pengumpulan data dan melakukan evaluasi secara sistematis.
Sasaran utama program QA adalah peningkatan kualitas pelayanan pasien dan interpretasi gambar dengan tepat waktu.
4. Kendali Mutu QC (Quality Control)
Kendali mutu atau QC didefinisikan sebagai bagian dari QA. QC menitikberatkan aktifitas programnya pada teknik-teknik yang diperlukan bagi pengawasan (monitoring), perawatan dan menjaga (maintenance) elemen-elemen teknis dari suatu sistem peralatan radiografi dan imaging yang mempengaruhi mutu gambar.
5. Reject Analysis
Aspek penting dari program manajemen kualitas adalah prosedur analisa pengulangan film. Ini adalah suatu proses secara sistematis penggolongan gambar yang ditolak dan menentukan sebab dari pengulangan tersebut sehingga pengulangan foto dapat dikurangi atau dihilangkan kedepannya. Reject analysis menyediakan data penting tentang kinerja alat, prosedur kerja, dan tingkat kemampuan pekerja.
Reject Analysis adalah suatu prosedur untuk mengetahui tingkat kesalahan teknik dalam melakukan pemeriksaan atau kesalahan yang timbul oleh peralatan yang dinilai terhadap film-film yang terbuang dengan sia–sia.
Tujuan dari reject analysis adalah:
1. Menganalisa jumlah film yang terbuang sebagai sebuah persentase dari total film yang digunakan.
2. Membuat standar untuk program QA dan kemudian memantau sebuah keefektifan dari suatu program.
A. Faktor-faktor yang menyebabkan reject film atau ditolaknya film adalah:
1. Kesalahan manusia
2. Kesalahan peralatan
3. Pergerakan pasien.
B. Manfaat reject analysis adalah:
1. Memastikan bahwa teknik radiografi yang digunakan tepat dan penanganan film yang dilakukan benar.
2. Memastikan bahwa perlengkapan radiografi yang digunakan dalam kondisi baik dan standar.
3. Memastikan bahwa pemilihan jenis film yang digunakan tepat.
C. Prosedur pelaksanaan reject analysis film adalah melakukan survei terhadap:
1. Jumlah film yang belum terekspos di ruang processing termasuk yang ada di dalam kaset.
2. Jumlah film yang belum terekspos di masing-masing kamar pemeriksaan.
3. Masing-masing ruang mencatat jumlah film yang digunakan dan jumlah film yang ditolak.

D. Beberapa kiat mengurangi tingkat kerusakan film
1. Tim analisis melakukan pengumpulan data dari masing-masing ruangan seminggu sekali, film yang ditolak disortir dan dilakukan kategorisasi (jika memungkinkan dilakukan identifikasi pada setiap pemeriksaan).
Perhitungan angka reject dapat dihitung dengan cara menggunakan rumus sebagai berikut:
a. Casual Reject Rate adalah angka reject dengan penyebab yang spesifik
CRR(Casual Reject Rate)=(jumlah film yang ditolak dengan penyebab spesifik :
total film yang ditolak ) x 100
b. Total Reject Rate merupakan keseluruhan angka reject dari semua jumlah film yang digunakan:

TRR (Total Reject Rate) = (Total film yang direjek : total film yang digunakan)x 100
Baca Selengkapnya..

PROSEDUR PTA DAN STENT

Percutaneous Transluminal Angioplasty (PTA) adalah suatu tindakan pelebaran pembuluh darah yang mengalami penyempitan (stenosis) dengan menggukan balon kateter. Sedangkan vascular stent adalah rangkaian logam kecil anti karat yang digunakan untuk mempertahankan lebar pembuluh darah yang telah dilakukan prosedur angioplasty. Saat ini bermacam-macam jenis stent telah teraplikasi untuk penanganan penyumbatan ataupun penyempitan pembuluh darah. Dr Julio Palmaz dari Sant Antonio Texas memberikan konstribusi besar dalam perkembangan teknologi stent. Jenis stent palmaz yang dikembangkan dengan teknik balon merupakan gerbang bai perkembangan jenis-jenis stent yang lain.

Konstruksi dan jenis stent
Bahan baku yang digunakan untuk konstruksi stent telah mengalami kemajuan pesat dalam 10 tahun terakhir. Saat ini stent dibuat dari besi baja (Stainless Steel) maupun dari logam khusus yang disebut nitinol. Bahan baku Nitinol sangat berguna untuk desain stent yang lebih fleksibel dan memiliki daya tahan yang tinggi. Stent teraplikasi kedalam pembuluh darah bersifat menetap (permanent) dan tidak dapat dikeluarkan lagi.

Jenis stent dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu stent yang diaplikasikan dengan bantuan balon (Ballon expandable stent) dan stent yang teraplikasi dan mengembang sendiri (self expandable stent). Berikut ini jenis-jenis stent yang diaplikasikan terhadap bermacam-macam lesi pembuluh darah :
1. Palmaz stent : terbuat dari baja, merupakan ballon expandable stent yang
bersifat kokoh dan umumnya digunakan untuk area penyempitan yang pendek.
Stent ini merupakan stent pertama dan tertua hingga saat ini.
2. Wall stent : Merupakan self expandable stent yang terbuat dari baja dan
digunakan untuk untuk lesi yang panjang dan memeiliki diameter hingga 24
mm. stent ini dapat dipergunakan untuk berbagai situasi karena bersifat
fleksibel.
3. Bard Luminex Stent : Self expanding Nitinol Stent
4. Symphony Stent : Self expanding nitinol stent
5. Smart Stent : Self Expanding Nitinol stent
6.Perflex Stent : Long Balloon expandable stent
7. AVE stent : Balloon expandable
8. AVE SE stent : Self expanding nitinol stent
9. Intrastent : Balloon Expandable stent
10. Herculink : Balloon Exapandable stent sangat lentur dan khusus
digunakan untuk pembuluh darah arteri ginjal.
11. Dynalink : Self Expanding Nitinol Stent

Kaidah Pemasangan Stent

Pilihan jenis stent tergantung pada anatomi dari pembuluh darah dan macam lesi yang harus diterapi. Pada penyempitanarteri iliaka dengan kondisi pembuluh darah yang lurus maka jenis stent yang dipilih adalah palmaz stent dan corynthian stent, sedangkan pada pembuluh darah arteri iliaka yang berkelok-kelok (tortuous/kinking) atau melintang tegak lurus (Cross-over)dibutuhkan stenting yang lebih fleksibel.


Pemilihan balon-balon dan jenis stent diptuskan berdasarkan gambar hasil pemeriksaan diagnostik awal (Arteriografi iliaka diagnostik) yang meliputi ; morfologi pembuluh darah (lurus atau kinking), diameter pembuluh normal, Prosentase penyempitan, pernah diterapi serupa dan lokasi penyempitan (pada bifukarsi, arteri iliaka kommunis atao arteri iliaka externa).
Prosedur PTA dan Aplikasi Stent

1. Persiapan Pasien
Sebelum tindakan PTA dan aplikasi stent dilakukan maka dilakukan :

a. Pasien atau keluarga pasien menandatangani surat persetujuan tindakan
(informed consent) setelah terlebih dahulu dilakukan penjelasan menyangkut
prosedur dan resiko yang dapat ditimbulkan.
b. Cukur rambut pubis jika pemeriksaan dilakukan di daerah inguinal (lipatan
paha)
c. Pasien puasa 6-8 jam sebelum pemeriksaan.
d. Jika pasien memiliki tingkat kecemasan yang tinggi maka dapat diberi obat penenang (sedative)
2. Peralatan dan bahan

b. Alat-alat
Alat-alat yang digunakan untuk tindakan PTA dan aplikasi stent selain pesawat angiografi syestem meliputi :
1). Jas operasi
2). Doek besar dan kecil
3). Saraung penutup tabung Image Intensifier
4). Perlak
5). Cawang (kom) untuk cairan pembilas dan cairan desinfektan
6). Nierbeken
7). Tupper tang
8). Pisau bedah No.4 (Scapel)
9). Spuit 20 cc 2 buah, spuit 10 cc 2 buah, spuit 2.5 cc 1 buah, spuit 5
cc 1 buah
10). Sarung tangan (handscoend)
11). Infus set
12). Manometer line
13). Three way connector panjang dan Y connector
14). Jarum seldinger
15). Introducer set yang terdiri dari : mini guide wire, Sheat, dan dilator.
16). Guide wire yang terdiri dari : penuntun kateter guiding dan penuntun
kateter balon dan kateter stent
17). Kateter Guiding
18). Stent
19). Jika aplikasi stent dengan bantuan balon kateter maka diperlukan alat
pengukur tekanan balon (indeflator)
c. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang diperlukan meliputi :
1). Batadine
2). Alkohol
3). Cairan NaCl
4). Nitrattrigliseril (NTG)
5). Heparin
6). Lidokain 2 %
7). Bahan Kontras

3. Pelaksanaan Prosedur
Prosedur pelaksanaan PTA dan aplikasi stent pada arteri iliaka adalah sebagai berikut :
a. Daerah lipatan paha (inguinal) di desinfeksi
b. badan pasien ditutup dengan kain steril kecuali daerah puncture
c. Abocath ditusukkan kedalam arteri femoralis dengan sudut ±60o.
d. Jika abocath telah masuk ke arteri femoralis darah akan menyembur keluar
selanjut mandrin dicabut.
e. mini guide wire dimasukkan melalui stylet abocath
f. Stylet abocath dicabut dan sheat bersama dilatator dimasukkan.
g. Mini guide wire, stylet dan dilatator dicabut sehingga hanya sheat yang
tetap berada pada lumen arteri (sheat berfungsi sebagi tempat keluar-
masuknya guied wire beserta kateter serta tempat memasukkan bahan-bahan
farmasi).
h. Cairan pembilas disuntikkan melalaui sheat untuk emcegah terjadinya
gumpalan (bekuan) darah dalam sheat. (cairan pembilas merupakan campuaran
cairan NaCl dengan Heparin dengan perbandingan 1000 : 1)
i. Kateter dan sheat juga dibilas selanjutnya dibawah control floroskopi
guide wire menuntun kateter guiding menuju ke pembuluh darah target
j. Kateter guiding dibilas kembali dengan cairan pembilas.
k. Bahan kontras disuntikkan melalui kateter untuk identifikasi area
penyempitan dan gambar yang dihasilkan akan menjadi pedoman kerja.
l. Guide wire penuntun kateter balon dan kateter stent dimasukkan dan harus
melewati area penyempitan .
m. Balon kateter dimasukkan melalui guide wire menuju ke area penyempitan
n. Bahan kontras kembali disuntikkan ke dalam arteri iliaka untuk
memastikan balon kateter tepat berada dalam area penyempitan
o. Balon kateter dikembangkan sesuai dengan nominal yang direkomendasikan
untuk melebarkan pembuluh darah dan jika diperlukan diameter balon dapat
ditambah dengan menambah tekanan balon hingga ke batas maksimum
(sebelum mencapai Rating Burst Ballon ;RBP) selama ±30 detik.
p. Balon dikempiskan dan kembali dilakukan penyuntikan bahan kontras untuk
mengetahui hasil balon
q. Jika area penyempitan telah melebar dengan diameter sesuai yang
diinginkan maka stent dapat diaplikasikan dengan cara :
1). Melalui guide wire kateter stent diarahkan ke araea penyempitan
2). Bahan kontras disuntikkan ke dalam pembuluh darah target
untuk memastikan kateter stent tepat berada dalam area
penyempitan.
3). Jika telah berada dalam area penyempitan maka stent dikembangkan
4). Dilakukan evaluasi ketepatan posisi stent dalam area penyempitan
dengan menyuntikkan bahan kontras, Jika hasil evaluasi lumen
penyempitan belum melebar maksimal setelah stent diaplikasikan
maka dapat dilakukan pelebaran tambahan dengan balon kateter.
5). Kateter stent dicabut bersama guide wire untuk selanjutnya dilakukan
evaluasi akhir untuk melihat hasil pemasangan stent
6). Prosedur selesai.


Baca Selengkapnya..

DASAR-DASAR LINEAR ACCELERATOR

Radioterapi telah diterima sebagai sebuah modalitas penting pada pengobatan penyakit kanker tidak lama setelah ditemukan sinar X pada akhir abad XIX disamping modalitas lain seperti pembedahan dan khemoterapi. Modalitas ini berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan teknologi pada umumnya. Radiasi eksterna yang merupakan metode pemberian radiasi konvensional telah berubah dengan kemampuan meningkatnya tegangan yang dihasilkan oleh sistem generator pengahasil foton. Semakin tinggi tegangan yang dihasilkan semakin optimal pula hasil pengobatan., yakni diperolaeh kematian jaringan tumor sebanyak-banyaknya tetapi kerusakan jaringan sehat sekitarnya adalah minimal. Radiasi eksterna diawali dengan penggunaan anode stastis yang menghasilkan tegangan sebanyak 10 kilo volt, dan sekarang dengan teknologi akselerator dapat dihasilkan tegangan tinggi dalam penggunaan untuk kesehatan sampai dengan 15 Mega Volt di samping elektron. Di Negara maju akselerator untuk kesehatan juga telah merambah penggunaan neutron, proton serta parikel berat lainnya.

Sejarah
Akselerator adalah alat yang dipakai untuk mempercepat gerak partikel bermuatan seperti elektron, proton, inti-inti ringan, dan inti atom lainnya. Mempercepat gerak pertikel bertujuan agar pertikel tersebut bergerak dengan cepat sehingga memiliki energi kinetik yang sangat tinggi. Untuk mempercepat gerak partikel ini diperlukan medan listrik ataupun medan magnet. Dilihat dari jenis gerakan medan partikel, ada dua jenis akselerator, yaitu akselerator dengan gerak partikelnya lurus (lebih dikenal sebutan akselerator liniear)dan gerak partikelnya melingkar (akselerator magnetik).
Akselereator gerak pertama kali dikembangkan oleh dua orang fisikawan Inggris, J.D. Cockroft dan E.T.S Walton, di Laboratorium Cavendish, Universitas Cambrige pada 1929. atas jasanya itu, mereka dianugrahi hadiah Nobel bidang fisika pada 1951. pada mulanya, akselerator partikel dipakai untuk penelitian fisika energi tinggi dengan cara menabrakan partikel berkecepatan sangat tinggi kew target tertentu. Namun, ada beberapa jenis akselerator partikel yang dirancang untuk memproduksi radiasi berenergi tinggi untuk keperluan radioterapi.
Tabung Betatron dan Sinkrotron Elektron
Untuk mendapatkan sinar-X dengan energi yang sangat tinggi, para ilmuwan telah membangun mesin pembangkit sinar-X yang sangat kuat. Salah satu diantaranya adalah mesin pembangkit yang diberi nama betatron. Mesin pada prinsipnya adalah suatu tabung sinar-X berukuran sangat besar. Betatron peartama kali diperkenalkan pada 1941 oleh Donald William Kerts dari Universitas Illinois, Amerika Serikat. Panamaan Betatron mengacu pada salahsatu jenis sinar radioakatif yaitu sinar-ß , yang merupakan aliran elektron yang berkecepatan tinggi.
Betatron terdiri atas tabung kaca hampa udara berbentuk cincin raksasa yang diletakan diantara dua kutub magnet yang sangat kuat. Penyuntik berupa filamen panas yang berperan sebagai pemancar elektron dipasang untuk menginjeksi aliran elektron ke dalam tabung pada sudut tertentu. Setelah elektron disuntikan ke dalam tabung, ada dua gaya yang akan bekerja pada elektron tersebut. Gaya yang pertama membuat elektron bergerak mengikuti lengkungan tabung. Di dalam medan magnet, partikel akan bergerak melingkar. Gaya yang kedua berperan mempecepat gerak elektron hingga kecepatannya semakin tinggi. Melalui gaya ke dua ini, elektron memperoleh energi kinetik yang sangat besar.
Dalam waktu sangat singkat, elekttron akan bergerak melingkar di dalam tabung beberapa ribu kali. Apabila energi kinetik elektron telah mencapai nilai tertentu, elektron dibelokan dari jalur lengkungannya sehingga dapat menabrak target secara langsung yang berada di tepi ruangan. Dari proses tabrakan ini pancarkan sinar X berenergi sangat tinggi. Sebagi besar Betatron menghasilkan elelktron berenergi kira-kira 20 MeV.
Betatron memiliki kelemahan karena mesin itu memerlukan magnet berukuran sangat besar guna mendapatkan perubahan fluks yang diperlukan untuk mempercepat elektron. Untuk mengatasi kelemahan ini, diperkenalkan jenis akselerator elektron lainnya yang menggunakan magnet yang berbentuk cincin yang diberi nama sinkrontron elektron. Alat ini berfungsi sebagai pemercepat elektron yang mampu menghasilkan elektron dengan energi kinetik lebih besar di bandingkan Betatron. Elektron dengan energi anatara 50-100 kV dipancarkan dari filamen untuk selanutnya dipercepat di dalam alat. Pada saat akhir proses percepatan, elektron ditabrakan menuju sasaran sehingga dihasilkan sinar X dengan energi dan intensitas tinggi.

Aplikasi LINAC
Akselerator linier (Linear Accelerator, LINAC) paertama kali diperkenalkan oleh R. Wideroe di Swiss pada 1929, namun unjuk kerjanya saat itu kurang memuaskan. LINAC mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan dengan akselerator magnetik. Di samping itu, penyutikan artikel yang akan dipercepat dalam akseleratormagnetik sangat sulit dilakukan, sedang pada LINAC partikel dalam bentuk berkas terkolimasi secara otomatis terpencar ke dalam tabung akselerator.
LINAC dapat dipakai untuk mempercepat partikel hingga berenergi di atas 1 BeV.
Betatron praktis tidak mungkin mencapai energi setinggi karena memerlukan magnet berukura sangat besar. LINAC semula dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan positif seperti proton. Namun, setelah berbagai modifikasi, mesin dapat pula dipakai untuk mempercepat partikel bermuatan negatif seperti elektron. Dalam hal ini, elektron yang dipercepat mampu bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya (elektron dengan energi 2 MeV bergerak dengan keceaptan 0,98 c, dengan c adalah keepatan cahaya). Jika elektron berenergi tinggi itu ditabrakan pada target dari logam berat maka dari pesawat LINAC akan di pancarkan sinar-X bernergi tinggi.
Radioterapi dapat juga dilakukan dengan menggunakan elektron berenergi tinggi. Elektron yang dipercepat dalam LINAC dapat lamgsung di manfaatkan untuk radioterapi tanpa harus di tabrakan terlebih dahulu dengan logam berat. Jadi, LINAC dapat juga berperan sebagai sumber radiasi partikel berupa elektron cepat yang dapat dimanfaatkan untuk radioterapi tumor.



Baca Selengkapnya..

KEDOKTERAN NUKLIR

Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosis, terapi penyakit serta penelitian. Secara lengkap Definisi Kedokteran Nuklir menurut WHO adalah ilmu kedokteran yang dalam kegiatannya menggunakan sumber radiasi terbuka (“unsealed’) baik untuk tujuan diagnosa, maupun untuk pengobatan penyakit (terapi), atau dalam penelitian kedokteran.
Kedokteran Nuklir mencakup pemasukan radioisotop ke dalam tubuh pasien (studi in-vivo) dan dapat pula dengan mereaksikannya dengan bahan biologis seperti darah, cairan lambung, urine, dan sebagainya, yang berasal dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai studi in-vitro (dalam tabung percobaan).


Secara umum bidang kedokteran nuklir dapat digolongkan dalam 4 jenis kegiatan yaitu :
1. Pemeriksaan radioaktivitas secara eksternal in vivo setelah pemberian radionuklida secara internal. Pada studi in-vivo, setelah radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan, atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari pasien dapat berupa:
- Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh pasien yang diperoleh dengan bantuan
peralatan kamera gamma ataupun kamera positron (teknik imaging).
- Grafik atau skala yang menunjukkan akumulasi maupun intensitas radioisotop
- Sampel dari tubuh pasien yang mengandung radioisotope seperti darah atau urine,
untuk dicacah (teknik non-imaging).

2. Pengukuran radioaktivitas secara in vitro dalam eluat hasil ekskresi setelah pemberian radionuklida seperti : studi absorpsi vitamin, studi kandungan air dalam tubuh secar total (total body water), studi metabolisme dan aplikasi bidang hematologi,
3. Pemeriksaan in vitro
4. Terapi dengan radioisotop, misalnya pemberian iodium aktif untuk penyembuhan panyakit kaker tiroid.

SEJARAH
Penggunaan isotop radioaktif dalam bidang kedokteran dimulai tahun 1901
oleh Henri Danlos yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit TBC
kulit. Namun yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C De
Havessy yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan menggunakan zat
radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop alam Pb212. Dengan
ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop alam tidak lagi digunakan.
Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I-131. Pemakaiannya kini telah terdesak oleh Tc99m, selain karena
sifatnya yang ideal dari segi proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat
diperoleh dengan mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih
sangat diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar tiroid.


RADIOFARMAKA

Radiofarmaka merupakan sediaan farmasi dalam bentuk senyawa kimia yang mengandung radioisotop yang diberikan pada kegiatan kedokteran nuklir. Sediaan radiofarmaka pada umumnya terdiri dari 2 komponen yaitu radioisotop dan bahan pembawa menuju ke organ target. Pancaran radiasi dari radioisotop pada organ target itulah yang akan dicacah oleh detector (gamma kamera) untuk direkostruksi menjadi citra ataupun grafik intensitas radiasi..

Syarat senyawa radioaktif untuk tujuan diagnosa adalah 1) murni satu nuklida saja, 2) murni secara radiokimia, 3) Pemancar sinar-gamma energi tunggal yang besarnya berkisar antara 100-400 KeV , 4) stabil dalam bentuk senyawa , 5) Waktu paruh biologis pendek. Beberapa contoh sediaan radiofarmaka antara lain : Brom Sufatein I-131 (BSP), Hipuran I-131, Radio Iodinated Human Serum Albumin (RIHSA), Rose Bengal I-131, Tc-99m dalam bentuk senyawa Natrium Perteknetat, Thalium -201, Galium-68. Beberapa contoh radiofarmaka untuk terapi : I-131, Bi-212, Y-90, Cu-67, Pd-109. Radiofarmaka yang banyak dipakai untuk keperluan in-vitro test adalah I-125.

Produksi sediaan radiofarmaka dapat diklasifikasikan menjadi 4 :
1. Radioisotop primer medical yaitu radioisotop dalam bentuk kimia yang sederhana (biasanya an-organik). Diproduksi dengan cara mengiradiasi atom sasaran dalam reaktor nuklir atau dalam siklotron.
2. Senyawa bertanda medikal yaitu senyawa yang salh satu atau lebih dari atom atau gugusnya digantikan dengan atom unsur radioisotop
3. Generator radioisotop ; untuk mendapatkan radioisotop umur pendek pada lokasi yang jauh dari tempat produksi radioisotop terutama bagi rumah-sakit yang tidak memiliki fasilitas reaktor nuklir maka diciptakanlah generator radioisotop. Generator radioisotop adalah suatu sistem yang terdiri dua macam radioisotop yaitu radioisotop induk induk dan radioisotop anak yang keduanya membentuk pasangan kesetimbangan radioaktif. Radioisotop induk memiliki waktu paruh yang lebih panjang daripada waktu paruh radioisotop anak. Radioisotop anak digunakan untuk keprluan diagnostik maupun terapi.
4. Kit Radiofarmaka ; adalah sediaan non-radioaktif yang terdiri dari beberapa senyawa kimia yang akan ditandai dengan radioisotop untuk menjadi sediaan radiofarmaka. Radioisotop yang paling banyak digunakan adalah Technitium -99m (Tc-99m) karena punya beberapa kelebihan, yaitu :
- Waktu Paruh pendek (6,03 jam)
- Memancarkan gamma murni dengan energi 140 kev
- Mempunyai tingkat valensi 1 sampai 7 sehingga mudah bereaksi dengan senyawa lain.
- Dapat diperoleh dengan cara elusi generator radioisotop.
Oleh kerena itu sediaan radiofarmaka yang berkembang sampai saat ini adalah
sediaan radiofarmaka Technitium yang disiapkan dalam bentuk kit radiofarmaka,
sedangakan Tc-99m dapat diperoleh dengan elusi generator.

Mekanisme penempatan radiofarmaka dalam tubuh adalah :
1. Active transport : Secara aktif sel-sel organ tubuh, memindahkan radiofarmaka dari darah ke dalam organ tertentu, selanjutnya mengikuti proses metabolisme atau dikeluarkan dari tubuh. Contoh : I-131 akan ditransfer ke sel-sel thyroid untuk pembuatan T3 dan T4, Tc-99m IDA dan I-131 Rose Bengal oleh sel poligonal hati ditransfer dari darah kemudian diekskresi ke usus halus, lewat saluran empedu, I-131 Hippuran diekskresi oleh tubulus sehingga dapat untuk pemeriksaan ginjal.
2. Phogocytosis : Beberapa Radionuklida seperti Tc-99m, In-113m atau Au-198 jika diikat oleh pembawa materi berbentuk”koloid” maka radiofarmaka ini akab difagosit oleh RES tubuh. Bila radiofarmaka ini disuntikkan secara Intra Vena maka dapat memeriksa scanning liver, limpa, dan sumsum tulang, jika disuntikkan secara subcutan untuk memeriksa kelenjar getah bening.
3. Cell Sequestration (pengasingan sel) : Sel darah merah yang ditandai Cr-51 dan dipanaskan 50 derajat celcius selama 1 menit, lalu dimasukkan ke tubuh penderita secara intravena maka akan diasingkan ke limpa untuk pemeriksaan scanning limpa.
4. Capillary Blockage (Penghalang Kapiler) : Bila pembawa materi berbentuk makrokoloid (dengan ukuran 20-30 mikron) dan disuntikkan secara intravena maka akan menjadi penghalang kapiler di paru-paru. Contoh ; Tc-99m MAA untuk scanning perfusi hati
5. Simple or Exchanged Diffusion (pertukaran difus) : Radiofarmaka tersebut akan saling bertukar tempat dengan senyawa yang sama dari organ tubuh, contoh ; Polifosfat bertanda Tc-99m (Tc-99m MDP) akan bertukar tempat dengan senyawa polifosfat tulang dan dalam jangka 2-4 jam Tc-99m MDP akan merata dalam tulang, pemeriksaan untuk mendeteksi lesi otak denagn RIHSA dan cairan interselluler otak.
6. Compartmental Localization (kompartemental) : Bila radiofarmaka dapat menggambarkan blood pool karena keberadaannya yang cukup lama dalam darah maka ikatan ini dapat dipakai untuk scanning jantung dan plasenta (ventrikulografi dan placentografi). Contoh ; RIHSA untuk pemeriksaan plasenta, Cr-51 eritrosit, Tc-99m Sn eritrosit untuk ventrikulografi jantung.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih radiofarmaka uantuk pemeriksaan adalah :
1. Jenis peluruhan radiasi ; Untuk keperluan pemeriksaan eksternal in vivo, sinar-gamma dengan energi 100-500 kev sangat ideal. Karena radiasi dengan energi lebih besar 500 kev akan mampu menembus pelindung dan sekat-sekat pada kolimator sehingga terjadi penurunan spatial resolution. Juga dengan energi sangat kecil (lebih kecil 20 kev) banyak penyerapan foton oleh jaringan sebelum mencapai detektor. Dengan demikian sinar gamma murni tanpa radiasi partikel yang dibutuhkan untuk diagnostik kedokteran nuklir.
2. Waktu Paruh : meliputi waktu paruh fisik yaitu waktu yang diperlukan zat radioaktif untuk mencapai kativitas setngah dari aktivitas mula-mula, waktu paruh biologis yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan setengah radionuklida murni dari suatu organ tubuh serta waktu paruh efektif yaitu waktu yang diperlukan setengah zat yang telah dimasukkan ke dalam tubuh.
3. Biological Behaviour : Menyangkut perlakuan organ tubuh terhadap radiofarmaka tersebut., sehingga penting untuk menentukan paparan radiasi dari suatu organ atau untuk mendapatkan hasil interpretasi. Juga dengan menetahui biological behaviuor kita dapat memperkirakan eskresi suatu radiofarmaka.]
4. Aktifitas tertentu (The specific activity) : Bagian radiofarmaka yang berperan memberikan foton yang penting untuk pendeteksian. Sebab dalam suatu materi dapat ditemui bagian yang bersifat non-radioaktif yang dapat merugikan.
5. Jenis Instrument : Berbagai jenis peralatan kedokteran nuklir sengaja didesain hanaya untuk radioisotop yang memiliki enrgi tertentu.

Deteksi radioisotop dapat dibagi dalam 5 kategori :
1. Delution, absoption dan excretion sudies : Bila penderita disuntikkan sejumlah radiofarmaka yang telah diketahui jumlahnya, maka delution yang terjadi atau prosentase absorsi atau kapan dieskresi dapat ditentukan melalui sampel darah, urin, feses dan lain-lain.
2. Concentration sudies : bila suatu radiofarmaka diberikan pada seorang pasien kemudian diukur berapa persen yang ditangkap suatu organ, misal Thyroid Up-take.
3. Dinamic function study : Suatu radiofarmaka dipelajari saat mencapai atau meninggalakan suatu organ. Misal ; pada pemeriksaan cerebral blood flow, renogram.
4. Organ system atau pool Visualization : Setalah radiofarmaka dimasukkan ke dalam tubuh pasien maka distribusinya akan tersaji dalam bentuk gambar. Misalnya pada pemeriksaan scanning otak, cardiac blood pool , Bone scan.
5. In vitro test
6. Radiofarmaka dicampur dengan sampel penderita, misalnya pada pemeriksaan T3 x T4.

Ada 2 macam gambaran yang diperoleh dari hasil scanning :
1. Hot area, artinya daerah abnormal yang menunjukkan kenaikan up take (distribusi yang berlebihan) radiofarmaka. Contoh ; bone scanning dan brain scanning.
2. Pada keadaan dimana radiofarmaka diikat oleh organ tubuh yang normal sehingga pada keadaan abnormal timbul penurunan aktivitas atau cold area. Contoh : scanning liver, thyroid.

Instrumentasi Kedokteran Nuklir
Berikut ini komponen pokok kedokteran nuklir yaitu :
1. Stationary Probe : Baiasanya untuk pemeriksaan : test konsentrasi pada organ maupun dinamic test. Data yang diperoleh, berupa count per unit waktu, atau waktu yang dibutuhkan untuk sejumlah count tertentu.
2. Well Counter : Prinsip kerja sama dengan stationary probe yaitu berupa count per waktu tetapi hanya dikhususkan untuk counting dari sampel berupa urine, darah feces dan lain-lain (in vitro test).
3. Scanner : Menghasilkan gambar 2 dimensi dari distribusi radiofarmaka dalam suatu organ. Dapat juga untuk menilai pada pemeriksaan-pemeriksaan concentration, delution, excretion dan absorbtion. Scanning berupagerakan maju-mundur melalui daerah yang diinginkan sehingga menghasilkan gambar yang tersusun dari garis-garis atau titik-titik. Ukuran dan jumlah kristal detektor NaI menetukan hasil dan kecepatan scanner. Semakin banyak detektor atau semakin besar ukuran kristalnya hasil semakin baik dan waktu scanning makin cepat.
4. Camera : Yaitu alat pencitraan yang dapat menyajikan gambar tanpa menggerakkan detektor.


Baca Selengkapnya..

BAHAN KONTRAS RADIOGRAFI

BAHAN KONTRAS RADIOGRAFI
Bahan Kontras merupakan senyawa-senyawa yang digunakan untuk meningkatkan visualisasi (visibility) struktur-struktur internal pada sebuah pencitraan diagnostic medik.
Bahan kontras dipakai pada pencitraan dengan sinar-X untuk meningkatkan daya attenuasi sinar-X (Bahan kontras positif) yang akan dibahas lebih luas disini atau menurunkan daya attenuasi sinar-X (bahan kontras negative dengan bahan dasar udara atau gas). Selain itu bahan kontras juga digunakan dalam pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging), namun metode ini tidak didasarkan pada sinar-X tetapi mengubah sifat-sifat magnetic dari inti hidrogen yang menyerap bahan kontras tersebut. Bahan kontras MRI dengan sifat demikian adalah Gadolinium.


A. Sejarah
Penggunaan media kontras pada pemerikasaan radiologi bermula dari percobaan Tuffier pada tahun 1897, dimana dalam percobaannya ia memasukkan kawat kedalam ureter melalui keteter., sehingga terjadi bayangan ureter dalam radiograf. Percobaan selanjutnya yaitu dengan menggunakan kontras cair untuk menggambarkan anatomi dari traktus urinarius. Kontras tersebut diantaranya : koloid perak,bismut,natrium iodida,perak iodida, stronsium klorida, dan sebagainya. Berangsur-angsur metode tersebut mulai ditinggalkan karena menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Infeksi, trauma jaringan, terjadinya emboli, dan deposit perak dalam ginjal merupakan akibat sampingan yang tidak bisa dihindari.
Berpijak dari pengalaman-pengalaman terdahulu kemudian para ahli radiologi sepakat untuk megadakan pembaharuan dalam pemakaian media kontras pada pemeriksaan radiologi. Dan pada tahun 1928 seorang ahli urologi, Dr.Moses Swick bekerjasama dengan Prof.Lichtwitz,Binz, Rath, dan Lichtenberg memperkenalkan penemuannya tentang media kontras iodium water-soluble yang digunakan dalam pemeriksaan urografi secara intravena. Media kotras yang berhasil disintesa, diantranya dalah :sodium iodopyridone-N-acetic acid yang disebut Urosectan-B (Iopax), dan sodium oidomethamate yang disebut Uroselectan-B (Neoiopax). Dari segi radiograf kedua macam media kotras tersebut memberikan hasil yang memuaskan, namun dari pasiennya masih menimbulkan efek yang merugikan, yaitu : mual dan muntah. Selanjutnya Dr.Swick dan kawan-kawan melanjutkan usahanya dengan mengembangkan Iodopyracet yang sementara waktu bisa menggantikan kedudukan Neoiopax dalam pemerikasaan Urografi intra vena.
Usaha mengembangkan media kontras pun terus berlanjut. Mulai pertengahan tahun 1950 semua jenis media kontras untuk pemakaian secara intravaskuler untuk pemakaian secara intravaskular mulai mengalami pergantian. Mulai periode ini media kontras intravaskular menggunakan molekul asam benzoat sebagai bahan dasarnya dengan mengikat tiga atom iodium. Dari hasil uji coba membuktikan bahwa media kontras jenis ini memiliki kelebihan dibanding dengan jenis media kontras sebelumnya. Jenis media kontras tersebut diantarannya ; acetrizoate dibuat tahun 1950, diatrizoate tahun 1954, metrizoate tahun 1961, iothalamate tahun 1962, iodamide tahun 1965 dan ioxithalamate tahun 1968. Akhirnya media kontras yang dapat pula digunakan secara intravaskular secara kontinyu terus mengalami penyempurnaan.
Dari hasil penelitian membuktikan bahwa ionisitas dan osmolalitas merupakan kunci utama terjadinya keracunan pada pasien. Kemudian mulai tahun 1969 dr.Torsten Almen mengembangkan jenis media kontras non-ionik dengan osmolalitas yang cukup rendah. Mula-mula ia mengadakan penelitian terhadap keluarga Metrizamide yang sebelumnya dipakai pada pemeriksaan mielografi. Dengan diciptakannya media kontras water soluble untuk pemeriksaaan mielografi, penggunaan secara intravaskular mulai dipelajari. Hasil akhir penelitian memberikan jalan yang terbaik untuk segala macam pemeriksaan radiologi yang menggunakan media kontras iodium non-ionik water-soluble secara intravaskular

Ada dua jenis bahan baku dasar dari bahan kontras positif yang digunakan dalam pemeriksaan dengan sinar-X yaitu barium dan iodium. Sebuah tipe bahan kontras lain yang sudah lama adalah Thorotrast dengan senyawa dasar thorium dioksida, tapi penggunaannya telah dihentikan karena terbukti bersifat karsinogen.

B. Barium sulfat
Bahan kontras barium sulfat, berbentuk bubuk putih yang tidak larut. Bubuk ini dicampur dengan air dan beberapa komponen tambahan lainnya untuk membuat campuran bahan kontras. Bahan ini umumnya hanya digunakan pada saluran pencernaan; biasanya ditelan atau diberikan sebagai enema. Setelah pemeriksaan, bahan ini akan keluar dari tubuh bersama dengan feces.

C. Bahan kontras Iodium
Bahan kontras iodium bisa terikat pada senyawa organik (non-ionik) atau sebuah senyawa ionic. Bahan-bahan ionic dibuat pertama kali dan masih banyak digunakan dengan tergantung pada pemeriksaan yang dimaksudkan. Bahan-bahan ionic memiliki profil efek samping yang lebih buruk. Senyawa-senyawa organik memiliki efek samping yang lebih sedikit karena tidak berdisosiasi dengan molekul-molekul komponen. Banyak dari efek samping yang diakibatkan oleh larutan hyperosmolar yang diinjeksikan, yaitu zat-zat ini membawa lebih banyak atom iodine per molekul. Semakin banyak iodine, maka daya attenuasi sinar-X bertambah. Ada banyak molekul yang berbeda. Media kontras yang berbasis iodium dapat larut dalam air dan tidak berbahaya bagi tubuh. Bahan-bahan kontras ini banyak dijual sebagai larutan cair jernih yang tidak berwarna. Konsentrasinya biasanya dinyatakan dalam mg I/ml. Bahan kontras teriodinasi modern bisa digunakan hampir di semua bagian tubuh. Kebanyakan diantaranya digunakan secara intravenous, tapi untuk berbagai tujuan juga bisa digunakan secara intraarterial, intrathecal (tulang belakang) dan intraabdominally – hampir pada seluruh rongga tubuh atau ruang yang potensial.

1. Bentuk dan Susunan Kimia
. Berdasarkan tahap-tahap perkembangannya, bentuk dan susunan kimia media kontras iodium dapat dibedakan menjadi :

a. Sebelum tahun 1950
Pada periode ini semua media kontras iodium bersifat ionik, dimana dalam susunan kimianya terdapat ikatan ion. Ion-ion penyusun media kontras tersebut terdiri dari ; kation dan anion. Adapun contoh bentuk-bentuk media kontras intravaskular yang disintesa sebelum tahun 1950 adalah sebagai berikut :

b. Pertengahan Tahun 1950
Mulai pertengahan tahun 1950 ditetapkan penggunaan bahan dasar molekul benzoat yang setiap molekulnya mengikat tiga atom iodium. Pada tahap ini perkembangan dibagi menjadi :
1). Bahan Kontras Ionik
Ion-ion penyusun media kontras terdiri dari kation (ion bermuatan positif) dan anion (ion bermuatan negatif). Kation terikat pada asam radikal (-COO-) rantai C1 cincin benzena. Kation juga memberikan karakteristik media kontras, dimana setiap jenis memberikan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Ada beberapa macam kation yang digunakan dalam media kontras, di antaranya :
a). Sodium (Natrium)
Sifat sodium dalam media kontras adalah menurunkan kekentalan (viskositas), dan lebih sedikit menimbulkan reaksi anafilaksis karena dapat mengurangi mnuculnya zat histamin yang mengakibatkan reaksi alergis. Di lain pihak sodium bersifat lebih korosif terhadap sel endotelium dan parenkim organ tertentu, sehingga lebih toksik dari pada zat lain.
b). Meglumine ( NMG ; N-Methylglucamine)
Meglumine memiliki sifat toksik yang lebih kecil dibanding sodium, akan tetapi meglumine memberikan efek diuretik (mengurangi konsentrasi iodium dalam urin). Pada jenis asam dan konsentrasi yang sama meglumine lebih kecil menimbulkan kenaikan tekanan darah, bradikardia, dan konvulsi dibanding sodium.
c). Ethanolamine
Zat ini memiliki sifat yang tidak dimiliki oleh sodium maupub meglumine, yaitu tidak mempunyai sifat racun dan memiliki viskositas yang rendah, tetapi zat ini menimbulkan vasodilatasi yang cukup kuat.
Selain bahan tersebut diatas kadang-kadang pula digunakan kation dari calsium (Ca) dan magnesium (Mg).

Untuk memperoleh sifat media kontras yang dikehendaki pada pemeriksann radiologi tertentu biasanya dilakukan penggabungan antara beberapa jenis kation dalam satu jenis media kontras.
(1). Bahan Kontras Ionik Monomer
Bahan Kontras ionik manomer merupakan bentuk bahan kontras ionik yang memiliki satu buah cincin asam benzoat dalam satu molekul



(1). Bahan Kontras Ionik dimer
Merupakan media kontras ionik yang memiliki dua buah cincin asam benzoat dalam satu molekul. Salah satu contoh bentuk dan susunan kimia jenis bahan kontras ini adalah Ioxaglate (Hexabrix) yang merupakan media kontras ionik dimer pertama dibuat ;

2). Bahan Kontras Non-ionik.
Du dalam susunan kimia media kontras non-ionik sudah tidak dijumpai lagi adanya ikatan ion antar atom penyusun molekul. Kalau dalam media kontras ionik terdapat dua partikel penyususn molekul (kation dan anion) maka dalam bahan kontras non-ionik hanya ada satu partikel penyusun molekul sehingga memiliki karakteristik tersendiri.
b). Bahan kontras Non-ionik Manomer
Bahan kontras ini berasal dari media kontras ionik monomer yang dibentuk dengan mengganti gugus karboksil oleh gugus radikal non-ionik yaitu amida (-CONH2).
2). Bahan Kontras Non-ionik Dimer
Pembentukan struktur kimia bahan kontras ini melalui proses penggantian pada gugus karboksil media kontras ionik dimer juga oleh gugus radikal non-ionik, yang pada kahir sisntesa menghasilkan perbandingan iodium terhadap partikel media kontras 6 : 1.


Bahan kontras iodium yang umum digunakan

Osmolalitas
Konsentrasi molekul yang secara aktif memberikan tekanan osmotik larutan, sehingga memberikan kemampuan suatu pelarut (air) melewati suatu membran. Dapat dinyatakan dengan milliosmol per liter (osmolaritas) atau milliosmol per kilogram Air (H2O) pada suhu 37oC (Osmolalitas).
Osmolalitas tidak dipengaruhi oleh ukuran partikel namun nilainya tergantung dari ; Jumlah partikel dan konsentrasi iodium. Bahan kontras ionik memiliki jumlah partikel lebih besar daripada bahan kontras non-ionik karena dalam media kontras ionik terdapat dua partikel (kation dan anion) sehingga osmolalitas dua kali lebih besar.

Efek Samping
Bahan Kontras iodium yang modern merupakan obat-obat yang aman; reaksi-reaksi berbahaya bisa terjadi tapi tidak umum. Efek samping utama dari radiokontras adalah reaksi anafilaktif dan nefropati .
Reaksi-Reaksi Anafilaktif
Reaksi-reaksi anafilaktif jarang terjadi (Karnegis dan Heinz, 1979 dkk., 1987; Greenberger dan Patterson, 1998), tapi bisa terjadi sebagai respon terhadap bahankontras yang disuntikkan atau yang diberikan lewat mulut dan rectal dan bahkan memperburuk pyelografi. Gejalanya mirip dengan reaksi-reaksi anafilaksis, tapi tidak diakibatkan oleh respon kekebalan yang diperantarai IgE. Pasien-pasien yang memiliki riwayat reaksi-reaksi kontras, berisiko tinggi untuk mengalami reaksi-reaksi anafilaktif (Greenberger dan Patterson, 1988; Lang dkk., 1993). Pengobatan dini dengan kortikosteroid telah terbukti dapat mengurangi kejadian reaksi-reaksi yang berbahaya (Lasser dkk., 1988; Greenberger dkk., 1985; Wittbrodt dan Spinler, 1994).
Reaksi-reaksi anafilaktif bisa mulai dari urticaria dan gatal-gatal, sampai bronchospasma dan edema facial dan laryngeal. Untuk kasus-kasus urtikaria yang sederhana dan gatal-gatal, Benadryl (diphenhydramine) lewat mulut atau IV (intravenous) bisa diberikan. Untuk reaksi-reaksi yang lebih parah, antara lain bronchospasma dan edema leher atau wajah dapat diberikan inhaler albuterol, atau epinefrin IV atau subcutaneous, ditambah diphenhydramine mungkin diperlukan. Jika respirasi terganggu, saluran udara harus dibebaskan .
Nefropati yang Ditimbulkan oleh Medium Kontras
Nefropati oleh media kontras dapat ditimbulkan baik oleh peningkatan kreatinin darah lebih besar dari 25% atau peningkatan mutlak kreatinin darah yang mencapai 0,5 mg/dL. Ada tiga faktor yang terkait dengan meningkatnya risiko nefropati yang dipengaruhi oleh medium kontras, yaitu: gangguan ginjal sebelumnya (seperti penurunan kadar kreatinin < 60 mL/menit (1.00 mL/detik), diabetes yang telah ada sebelumnya, dan volume intravascular yang berkurang (McCullough, 1997); Scanlon dkk., 1999). Osmolalitas bahan kontras diyakini sangat berperan dalam nefropati. Idealnya, bahan kontras harus isoosmolar terhadap darah. Bahan kontras beriodium yang modern biasanya nonionic, tipe-tipe ionic yang terdahulu biasa menyebabkan efek yang lebih berbahaya dan tidak digunakan lagi. Untuk meminimalisir risiko terjadinya nefropati akibat medium kontras, maka berbagai tindakan bisa dilakukan yang kesemuanya telah dianalisis dalam sebuah meta-analisis yaitu : 1. Dosis media kontras harus diupayakan serendah mungkin, meski masih mampu ditmabhkan untuk melakukan pemeriksaan . 2. Bahan kontras bersifat non ionic 3. Media kontras yang nonionic dan iso-osmolar. Salah satu percobaan terkontrol acak menemukan bahwa sebuah bahan kontras nonionic iso-osmolar lebih baik dibanding media kontras non-ionik low-osmolar. 4. Hydrasi cairan intravenous dengan larutan garam. Masih ada pertentangan tentang cara yang paling efektif untuk hidrasi cairan intravenous. Salah satu metode adalah 1 mg/kg per jam selama 6-12 jam sebelum dan setelah pemberian kontras. 5. Hidrasi fluida intravenous dengan larutan garam ditambah sodium bikarbonat. Sebagai sebuah alternatif bagi hydrasi intravenous dengan larutan garam biasa, pemberian sodium bikarbonat 3 mL/kg per jam selama 1 jam sebelumnya, diikuti dengan 1 mL/kg per jam selama 6 jam setelah pemberian bahan kontras diketahui lebih baik ketimbang larutan garam biasa pada salah satu percobaan terkontrol acak. Ini selanjutnya didukung dengan sebuah percobaan terkontrol acak multi-senter, yang juga menunjukkan bahwa hydrasi intravenous dengan sodium bikarbonat lebih baik terhadap 0,9% larutan garam normal. Efek renoprotektif dari bikarbonat dianggap diakibatkan oleh alkalinisasi urin, yang menciptakan sebuah lingkungan yang lebih rentan terhadap pembentukan radikal bebas yang berbahaya. 6. N-asetilcystein (NAC). NAC, 600 mg secara oral dua kali sehari, pada hari sebelum selama prosedur jika pelepasan kreatinin diperkirakan lebih kecil dari 60 mL/menit (1,00 mL/detik). Sebuah percobaan terkontrol acak menemukan dosis NAC yang lebih tinggi (1200 mg IV bolus dan 1200 mg secara oral dua kali sehari selama 2 hari) dapat membantu (pengurangan risiko relatif sebesar 74%) pasien yang menerima angioplasty koroner dengan volume kontras yang lebih tinggi. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa N-asetilcystein melindungi ginjal dari efek toksik bahan kontras (Gleeson & Bulugahapitiya 2004). Efek ini, tidak merata, beberapa peneliti (seperti Hoffman dkk., 2004) telah mengklaim bahwa efek ini diakibatkan oleh gangguan dengan uji laboratorium kreatinin itu sendiri. Ini didukung oleh kurangnya korelasi antara kadar-kadar kreatinin dan kadar cystatin C. Agen-agen farmakologis lain, seperti furosemida, mannitol, theophylline, aminophylline, dopamine, dan atrial natriuretic peptide telah dicoba, tapi belum ada efek menguntungkan atau justru memiliki efek yang membahayakan (Solomon dkk., 1994; Abizaid dkk., 1999). Reaksi Kemotoksik Pasien yang memiliki kelainan pada kelenjar gondok sering mengalami reaksi kemotoksik setelah menjalani pemeriksaan dengan bahan kontras. Sebenarnya atom iodium yang terikat kuat dalam senyawa bahan kontras tidak memberikan pengaruh yang besar. Ia hanya sensitif terhadap ion iodida bebas yang sedikit banyak terdapat dalam bahan kontras. Kenaikan intake iodida inilah yang menyebabkan tirotoksikosis. Kontribusi makanan-laut dan alergi-alergi lain Disini harus ditekankan bahwa dugaan tentang “alergi” makanan laut, yang seringkali lebih didasarkan pada mitos dibanding fakta, bukanlah sebuah kontraindikasi yang cukup terhadap penggunaan bahan kontras beriodum. Sebuah hubungan antara kadar iodium dalam makanan laut dan alergi akibat makanan laut merupakan bagian dari bidang medis. Meski kadar iodine dalam makanan laut lebih tinggi dibanding pada makanan non-laut, namun konsumsi yang terakhir ini melebihi yang pertama dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kandungan iodine makanan laut terkait dengan reaksi-reaksi terhadap makanan-laut (Coakley dan Panicek, 1997). Data yang ada menunjukkan alergi akibat makanan laut dapat meningkatkan risiko sebuah reaksi yang diperantarai bahan kontras dengan jumlah yang kira-kira sama seperti alergi terhadap buah atau sama dengan yang menyebabkan asma (Shehadi, 1975). Dengan kata lain, lebih dari 85% pasien yang mengalami alergi makanan-laut tidak akan memiliki reaksi yang berbahaya terhadap kontras beriodium (Coakley dan Panicek, 1997). Terakhir, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa reaksi-reaksi kulit yang berbahaya terhadap antiseptic-antiseptik topikal yang mengandung iodium (seperti betadin, povidin) yang banyak hubungannya dengan pemberian bahan kontras IV (Coakley dan Panicek, 1997; can Ketel dan van den Berg, 1990).

Gadolinium
Gadolinium adalah unsur kimia yang dalam tabel sistem periodik memiliki simbol Gd dengan nomor atom 64. Gadolinium menjadi superconductive dibawah suatu temperatur kritis1.083 K. Dan merupakan strongly magnetic pada suhu ruang, dan menunjukkan sifat ferromagnetic dibawah suhu ruang.
Gadolinium memperlihatkan efek magnetocaloric yaitu peningkatan temperature ketika berada dalam medan magnet dan menurun ketika meninggalkan medan magnet. Diakrenakan sifat paramagnetiknya larutan organic gadolinium kompleks dan senyawa gadolinium digunakan secara intravenous sebagai bahan kontras untuk keperluan pencitraan medis magnetic resonance imaging (MRI) . Kontras gambar yang dihasilkan Gadolinium pada MRI dipengaruhi oleh perubahan variasi T1 dan T2 jaringan. Nilai T1 dan T2 diubah oleh perubahan jumlah fluktuasi medan magnet dekat sebuah inti. Medan paramagnetik oleh gadolinium menghasilkan banyak osilasi medan . Pada umumnya kontras gambar pada MRI diperoleh oleh satu jaringan yang memiliki afinitas yang lebih tinggi (gaya tarik menarik) atau vaskularisasi yang lebih banyak dibandingkan jaringan lain. Sebagai contoh tumor memiliki Gd uptake yang lebih besar dibandingkan jaringan disekitarnya menyebabkan T1 tumor lebih singkat sehinga signal yang dihasilkan lebih kuat.
Disamping MRI, gadolinium (Gd) juga digunakan dalam teknik pencitraan lain. Pada pemeriksaan dengan sinar-X, gadolinium terdapat dalam lapisan phosphor terdapat dalam suatu polymer matrix pada detector. Terbium-doped gadolinium oxysulfide (Gd2O2S: Tb) pada lapisan phosphor mengubah sinar-X menjadi cahaya nampak. Gd dapat memancarkan cahaya dengan panjang gelombang 540nm (spektrum cahaya hijau = 520 – 570nm), yang bermanfaaat pada penggunaan dalam photographic film.
Gadolinium oxyorthosilicate (GSOadalah sebuah kristal tunggal yang digunakan sebagai scintillator pada peralatan pencitraan medis seperti Positron Emission Tomography (PET). scintillator lain yang terbaru untuk mendeteksi neutron adalah cerium-doped gadolinium orthosilicate (GSO - Gd2SiO5:Ce).
Di masa yang akan datang, gadolinium ethyl sulfate, yang memiliki karakteristik noise yang sangat rendah, dapat digunakan dalam masers. Selanjutnya gadolinium's high magnetic movement dan low Curie temperature (yang hanya pada suhu ruang) merupakan aplikasi komponen magnetic untuk menindera panas dan dingin.Menyebabkan extremely high neutron cross-section of gadolinium, elemen ini sanagt efektif digunakan pada neutron radiography.

Baca Selengkapnya..

EFEK RADIASI

EFEK RADIASI PENGION TERHADAP TUBUH MANUSIA
Sel dalam tubuh manusia terdiri dari sel genetic dan sel somatic. Sel genetic adalah sel telur pada perempuan dan sel sperma pada laki-laki, sedangkan sel somatic adalah sel-sel lainnya yang ada dalam tubuh. Berdasarkan jenis sel, maka efek radiasi dapat dibedakan atas efek genetik dan efek somatik. Efek genetik atau efek pewarisan adalah efek yang dirasakan oleh keturunan dari individu yang terkena paparan radiasi. Sebaliknya efek somatik adalah efek radiasi yang dirasakan oleh individu yang terpapar radiasi.

Waktu yang dibutuhkan sampai terlihatnya gejala efek somatik sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan atas efek segera dan efek tertunda. Efek segera adalah kerusakan yang secara klinik sudah dapat teramati pada individu dalam waktu singkat setelah individu tersebut terpapar radiasi, seperti epilasi (rontoknya rambut), eritema (memerahnya kulit), luka bakar dan penurunan jumlah sel darah. Kerusakan tersebut terlihat dalam waktu hari sampai mingguan pasca iradiasi. Sedangkan efek tertunda merupakan efek radiasi yang baru timbul setelah waktu yang lama (bulanan/tahunan) setelah terpapar radiasi, seperti katarak dan kanker.
Bila ditinjau dari dosis radiasi (untuk kepentingan proteksi radiasi), efek radiasi dibedakan atas efek deterministik dan efek stokastik. Efek deterministik adalah efek yang disebabkan karena kematian sel akibat paparan radiasi, sedangkan efek stokastik adalah efek yang terjadi sebagai akibat paparan radiasi dengan dosis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sel.
Efek Deterministi (efek non stokastik) Efek ini terjadi karena adanya proses kematian sel akibat paparan radiasi yang mengubah fungsi jaringan yang terkena radiasi. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat dari paparan radiasi pada seluruh tubuh maupun lokal. Efek deterministik timbul bila dosis yang diterima di atas dosis ambang (threshold dose) dan umumnya timbul beberapa saat setelah terpapar radiasi. Tingkat keparahan efek deterministik akan meningkat bila dosis yang diterima lebih besar dari dosis ambang yang bervariasi bergantung pada jenis efek. Pada dosis lebih rendah dan mendekati dosis ambang, kemungkinan terjadinya efek deterministik dengan demikian adalah nol.

Sedangkan di atas dosis ambang, peluang terjadinya efek ini menjadi 100%.
Efek Stokastik Dosis radiasi serendah apapun selalu terdapat kemungkinan untuk menimbulkan perubahan pada sistem biologik, baik pada tingkat molekul maupun sel. Dengan demikian radiasi dapat pula tidak membunuh sel tetapi mengubah sel Sel yang mengalami modifikasi atau sel yang berubah ini mempunyai peluang untuk lolos dari sistem pertahanan tubuh yang berusaha untuk menghilangkan sel seperti ini. Semua akibat proses modifikasi atau transformasi sel ini disebut efek stokastik yang terjadi secara acak. Efek stokastik terjadi tanpa ada dosis ambang dan baru akan muncul setelah masa laten yang lama. Semakin besar dosis paparan, semakin besar peluang terjadinya efek stokastik, sedangkan tingkat keparahannya tidak ditentukan oleh jumlah dosis yang diterima. Bila sel yang mengalami perubahan adalah sel genetik, maka sifat-sifat sel yang baru tersebut akan diwariskan kepada turunannya sehingga timbul efek genetik atau pewarisan. Apabila sel ini adalah sel somatik maka sel-sel tersebut dalam jangka waktu yang relatif lama, ditambah dengan pengaruh dari bahan-bahan yang bersifat toksik lainnya, akan tumbuh dan berkembang menjadi jaringan ganas atau kanker. Paparan radiasi dosis rendah dapat menigkatkan resiko kanker dan efek pewarisan yang secara statistik dapat dideteksi pada suatu populasi, namun tidak secara serta merta terkait dengan paparan individu.
Respon dari berbagai jaringan dan organ tubuh terhadap radiasi pengion sangat bervariasi. Selain bergantung pada sifat fisik radiasi juga bergantung pada karakteristik biologi dari sel penyusun jaringan/organ tubuh terpajan. Tingkat sensitivitas dari jaringan penyusun organ berbeda-beda bergantung antara lain pada tingkatproliferasi (pembelahan) dan diferensiasi (kematangan) sel yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat sensitivitas dari organ terhadap pajanan radiasi. Berikut ini adalah efek radiasi pada sebagian organ tubuh akibat pajanan radiasi eksterna (dari luar tubuh) yang terjadi secara akut.
1. Sistem pembentukan darah
Sumsum tulang adalah organ sasaran dari sistem pembentukan darah karena pajanan radiasi dosis tinggi akan mengakibatkan kematian dalam waktu beberapa minggu. Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan jumlah sel basal pada sumsum tulang secara tajam. Komponen sel darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (limfosit dan granulosit) dan sel keping darah (trombosit).
Dosis sekitar 0,5 Gy pada sumsum tulang sudah dapat menyebabkan penekanan proses pembentukan komponen sel darah sehingga jumlahnya mengalami penurunan. Jumlah sel limfosit menurun dalam waktu beberapa jam pasca pajanan radiasi, sedangkan jumlah granulosit dan trombosit juga menurun tetapi dalam waktu yang lebih lama, beberapa hari atau minggu. Sementara penurunan jumlah eritrosit terjadi lebih lambat, beberapa minggu kemudian. Penurunan jumlah sel limfosit absolut/total dapat digunakan untuk memperkirakan tingkat keparahan yang mungkin diderita seseorang akibat pajanan radiasi akut.
Pada dosis yang lebih tinggi, individu terpajan mengalami kematian sebagai akibat dari infeksi karena menurunan jumlah sel darah putih (limfosit dan granulosit) atau dari pendarahan yang tidak dapat dihentikan karena menurunnya jumlah trombosit.
Efek stokastik pada sumsum tulang adalah leukemia dan kanker sel darah merah. Berdasarkan pengamatan pada para korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, leukemia merupakan efek stokastik tertunda pertama yang terjadi setelah pajanan radiasi seluruh tubuh dengan masa laten sekitar 2 tahun dengan puncaknya setelah 6 – 7 tahun.
2. Kulit
Efek deterministik pada kulit bervariasi dengan besarnya dosis. Pajanan radiasi sekitar 2-3 Gy dapat menimbulkan efek kemerahan (eritema) sementara yang timbul dalam waktu beberapa jam. Beberapa minggu kemudian, eritema akan kembali muncul sebagai akibat dari hilangnya sel-sel basal pada epidermis. Dosis sekitar 3 – 8 Gy menyebabkan terjadinya kerontokan rambut (epilasi) dan pengelupasan kering (deskuamasi kering) dalam waktu 3 – 6 minggu setelah pajanan radiasi. Pada dosis yang lebih tinggi, 12 – 20 Gy, akan mengakibatkan terjadinya pengelupasan kulit disertai dengan pelepuhan dan bernanah (blister) serta peradangan akibat infeksi pada lapisan dalam kulit (dermis) sekitar 4 – 6 minggu kemudian. Kematian jaringan (nekrosis) dalam waktu 10 minggu pemajanan radiasi dengan dosis lebih besar dari 20 Gy, sebagai akibat dari kerusakan yang parah pada pembuluh darah. Bila dosis yang di terima sekitar 50 Gy, nekrosis akan terjadi dalam waktu yang lebih singkat yaitu sekitar 3 minggu.
3. Mata
Mata terkena pajanan radiasi baik akibat dari radiasi lokal (akut atau protraksi) maupun pajanan radiasi seluruh tubuh. Lensa mata merupakan bagian dari struktur mata yang paling sensitif terhadap radiasi. Terjadinya kekeruhan atau hilangnya sifat transparansi lensa mata sudah mulai dapat dideteksi setelah pajanan radiasi yang relatif rendah yaitu sekitar 0,5 Gy dan bersifat akumulatif. Dengan demikian tidak seperti efek deterministik pada organ lainnya, katarak tidak akan terjadi beberapa saat setelah pajanan, tetapi setelah masa laten antara 6 bulan sampai 35 tahun, dengan rerata sekitar 3 tahun.
4. Organ reproduksi
Efek deterministik pada organ reproduksi atau gonad adalah sterilitas atau kemandulan. Pajanan radiasi pada testis akan mengganggu proses pembentukan sel sperma yang akhirnya akan mempengaruhi jumlah sel sperma yang akan dihasilkan. Dosis radiasi 0,15 Gy merupakan dosis ambang terjadinya sterilitas yang bersifat sementara karena sudah mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah sel sperma selama beberapa minggu. Sedangkan dosis ambang sterilitas yang permanen berdasarkan ICRP 60 adalah 3,5 – 6 Gy. Semakin besar dosis yang di terima testis, semakin banyak jumlah penurunan sel sperma dan semakin lama waktu pulih kembali normal, selama belum mencapai dosis ambang kemandulan permanen.
Pengaruh radiasi pada sel telur sangat bergantung pada usia. Semakin tua usia, semakin sensitif terhadap radiasi karena semakin sedikit sel telur yang masih tersisa dalam ovarium. Selain sterilitas, radiasi dapat menyebabkan menopuse dini sebagai akibat dari gangguan hormonal sistem reproduksi. Dosis ambang sterilitas menurut ICRP 60 adalah 2,5 – 6 Gy. Pada usia yang lebih muda (20-an), sterilitas permanen terjadi pada dosis yang lebih tinggi yaitu mencapai 12 – 15 Gy.
Efek stokastik pada sel germinal lebih dikenal dengan efek pewarisan yang terjadi karena mutasi pada gen atau kromosom sel pembawa keturunan (sel sperma dan sel telur). Perubahan kode genetik akan diwariskan pada keturunan individu terpajan. Penelitian pada hewan dan tumbuhan menunjukkan bahwa efek yang terjadi bervariasi dari ringan hingga kehilangan fungsi atau kelainan anatomik yang parah bahkan kematian prematur.
5. Paru
Paru dapat terkena pajanan radiasi secara eksterna dan interna. Efek deterministik berupa pneumonitis biasanya mulai timbul setelah beberapa minggu atau bulan. Efek utama adalah pneumonitis interstisial yang dapat diikuti dengan terjadinya fibrosis sebagai akibat dari rusaknya sel sistim vaskularisasi kapiler dan jaringan ikat, yang dapat berakhir dengan kematian. Kerusakan sel yang mengakibatkan terjadinya peradangan akut paru ini biasanya terjadi pada dosis 5 – 15 Gy. Perkembangan tingkat kerusakan sangat bergantung pada volume paru yang terkena radiasi dan laju dosis. Hal ini juga dapat terjadi setelah inhalasi partikel radioaktif dengan aktivitas tinggi dan waktu paro pendek.
Efek stokastik berupa kanker paru. Keadaan ini banyak dijumpai pada para penambang uranium. Selama melakukan aktivitasnya, para pekerja menginhalasi gas Radon-222 secara berkesinambungan sebagai hasil luruh dari uranium. Di dalam paru, radon selama proses peluruhannya sampai mencapai bentuk stabil yaitu timbal, akan melepaskan partikel alpa yang sangat berbahaya sebagai sumber pajanan radiasi interna.
6. Sistem Pencernaan
Bagian dari sistim ini yang paling sensitif terhadap radiasi adalah usus halus. Kerusakan pada saluran pencernaan menimbulkan gejala mual, muntah, diare, dan gangguan sistem pencernaan dan penyerapan makanan. Dosis radiasi yang tinggi dapat mengakibatkan kematian karena dehidrasi akibat muntah dan diare yang parah. Efek stokastik yang timbul berupa kanker pada epitel saluran pencernaan





Baca Selengkapnya..

DASAR-DASAR TEKNIK PENCITRAAN MRI ( MAGNETIC RESONANCE IMAGING )

PENDAHULUAN
Pencitraan resonansi magnetik atau lazim disebut MRI ( singkatan dari Magnetic Resonance Imaging ) awalnya disebut NMR ( Nuclear Magnetic Resonance). Hal ini disebabkan dasar pencitraan bersumber pada pemanfaatan inti atom ( Nucleus ) positif ( proton ) yang berinteraksi dengan gelombang radio dalam medan magnet yang kuat. Namun karena presepsi masyarakat luas yang negatif jika menggunakan istilah “ nuklir “ yang merupakan dampak dari taruma dari penggunaan energi nuklir dalam bidang militer maka NMR tidak dipopulerkan dan diganti menjadi MRI.
Saat ini pemeriksaan MRI berkembang sangat pesat karena selain mampu menyajikan informasi diagnostik dengan tingkat akurasi yang tinggi, juga bersifat non-invasive ( Non-Traumatis ), tidak ada bahaya radiasi ( Radiation Hazard ) serta menyuguhkan gambar – gambar organ dari berbagai irisan ( Multi planar ) tanpa memanipulasi tubuh pasien.


PENGETAHUAN DASAR SISTEM MAGNET
Magnet pertama kali ditemukan di Asia ( Magnesia ) kira-kira 2640 tahun sebelum masehi dan berwujud batu-batu magnet. Oleh karena banyaknya magnit alam tidak seberapa dan demikian juga kekuatan unsur-unsur kemagnitannya yang kecil sekali, maka magnet alam ini tidak banyak digunakan lagi.
Magnet buatan atau magnet artificial dapat dibuat dari baja yang digosok-gosokan dengan batang magnit atau dengan memasukan baja itu kedalam kumparan
yang dialiri arus listrik searah ( DC ). Magnet buatan ada dua macam yaitu magnet tetap ( Permanent Magnet ) dan magnet sementara ( Temporary Magnet ).

HIPOTESIS WEBER
Untuk menerangkan berbagai hal tentang magnet,Weber menyusun hipotesisnya sebagai berikut :
a. Semua magnet terdiri dari atom-atom magnetic yang dinamakan magnet-magnet molekuler atau magnet elementer.
b. Pada benda yang bersifat magnet, magnet-magnet elementer diarahkan sedemikian sehingga kutub-kutub utaranya mengarah ke suatu arah yang sama dan demikian sebaliknya untuk kutub-kutub selatan.
c. Pada benda yang tidak bersifat magnet kedudukan magnet-magnet elementer tidak teratur, tetapi sebagian besar membentuk lingkaran-lingkaran tertutup dimana kutub utara berhadapan dengan kutub selatan sehingga mengadakan keadaan yang seimbang.

HUKUM TOLAK MENOLAK DAN TARIK MENARIK
Lokasi dimana terdapat pengaruh kemagnitan disebut medan magnet. Secara sederhana medan magnet dapat diperlihatkan dengan menabur serbuk besi diatas selembar kertas yang dibawahnya ditaruh batang magnet sehingga tampak garis-garis dengan arah tertentu yang dibentuk oleh serbuk besi tersebut.
Garis-garis ini disebut garis magnet atau garis magnitisme. Garis magnitisme disebut juga garis induksi. Setiap garis ( satu garis ) dinamakan “ Maxwell “ dan jumlah garis yang masuk dan meninggalkan kurub disebut “ Flux Magnet “ ( O ), sedengkan tingkat kerapatan garis gaya magnet tersebut ( induksi magnet )
menunjukan kekuatan medan magnet ( B ) yang ditentukan oleh banyaknya flux magnet dalam suatu luas area tertentu ( A ) sehingga kekuatan medan magnet dapat diformulasikan sebagai berikut :
B= O / A
Satuan untuk mengukur kekuatan medan magnet adalah Weber / m2 atau Tesla.
Kutub-kutub magnet yang senama apabila didekatkan akan tolak menolak, sebaliknya yang tidak senama akan tarik menarik. Menurut hukum coulomb besar gaya tolak menolak dan tarik menarik dua kutub sebanding dengan kekuatan kutub-kutub itu dan berbanding terbalik dengan kuadran jarak kedua kutub tersebut;
K = M1.M2 / D2
K = Gaya tolak / tarik ( dynes )
M1 = kuat kutub pertama dalam satuan kutub utara ( SKU )
M2 = kuat kutub kedua dalam satuan kutub utara ( SKU )
D = jarak antara kedua kutub


SKU adalah kuat kutub magnet yag diletakan sejauh 1 cm dalam kutub lain yang sama kuatnya dan dapat membangkitkan gaya tarik atau tolak sebesar 1 dyne ( 1 gram = 981 dyne ). Banyaknya garis gaya magnet yang dikeluarkan oleh sebuah kutub adalah :
O = 4 M
= 4 ( 3,14 ) M
= 12,57 M
M = Kuat kutub dalam SKU

KEMAGNITAN LISTRIK
Hubungan antara listrik dan kemagnitan dan listrik adalah bahwa magnet dapat dibuat dengan menggunakan arus listrik sebaliknya tenaga listrik dapat dibangkitkan dengan menggunakan magnet. Orang yang pertama kali melakukan penelitian tentang hubungan tersebut adalah Oersted tahun 1819.
Medan magnet dapat timbuk pada sekitar kawat berbentuk lurus maupun melingkar. Sebuah selonoida adalah kawat penghantar listrik yang digulung menjadi sebuah kimparan panjang. Medan magnet yang sitimbulkan oleh suatu kumparan yang dialiri listrik lebih kuat daripada medan magnet yang ditimbulkan oleh sebuah lingkaran saja. Bila didalam kumparan itu ditempatkan inti besi lunak, maka kemagnetannya jauh lebih besar lagi.
Susunan kumparan dari inti besi lunak itu disebut “ elektromagnet “ . keuntungan elektromagnet adalah :
1. Dengan mengambil jumlah lilitan yang banyak dan arus yang kuat dapat diperoleh kemagnetan yang kuat sekali.
2. Bila arus diputus, sifat kemagnitan dapat hilang sama sekali.
3. Kekuatan magnetnya dapat diubah ubah dengan mengubah kuat arusnya.
4. Cara menyimpannya tidak memerlukan apa-apa seperti halnya dengan magnet permanen.
5. Kedua kutubnya dapat ditukar.
Solenoida adalah suatu lilitan kawat atau kumparan yang rapat. Jika solenoida menggunakan teras udara, maka besarnya medan magnet pada pusat dan ujung solenoida adalah sebagai berikut :
B pada pusat solenoida adalah : UO . i . n

Diketahui UO = K . 4
Jika K adalah suatu ketetapan bernilai 10-7 weber / meter ampere
Maka UO = 4 10-7 weber / meter ampere. Jika n = N/ I maka :
B = UO . i . N/L

Dimana : n = jumlah lilitan tiap satuan panjang
I = panjang lilitan
N = jumlah lilitan
Sementara itu kuat medan magnet pada ujung solenoida adalah :
B = UO . i . N/2
Sementara itu kuat medan magnet pada ujung solenoida adalah :
B = UO . i . N/2
Apabila solenoida dilengkungkan maka sumbunya membentuk sebuah lingkaran yang disebut “ toroida “. Berikut gambar solenoida ( A ) dan toroida ( B ).

SEJARAH MRI
Penemuan MRI tidak muncul secara tiba-tiba akan tetapi melalui perkembangan ilmu yang mendukung terwujudnya teknologi MRI. Terdapat serentetan nama yang memiliki andil yang cukup besar dalam mewujudkannya.
Mendeleyev dan Mayer tahun 1869 menyusun unsur-unsur atom dengan sistem periodiknya. Eniest Rutherford, Neils Bohr dan James Chud pada tahun 1911 berjasa dalam teori tentang struktur atom. Kemudian Felix Block dan Edward Purcell keduanya menerima hadiah nobel di bidang fisika pada tahun 1952 mengungkapkan perilaku inti atom seperti sebuah magnet kecil, yang dapat melakukan spin dan precessing dengan berlandaskan pada rumus larmor ( akan dibahas ) yang merupaka
dasar utam terciptanya MRI. Tahun 1960 seorang ahli fisika yang dapat dianggap palinh berjasa dalam pengembangan MRI adalah Raymond Damadian telah melakukan rentetan penelitian dan mampu membedakan jaringan- jaringan tumor ganas dan jaringan normal. Disusul kemudian tahun 1974 ia mendemonstrasikan tumor tikus secara kasar dengan citra MRI dan tahun 1976 menghasilkan citra tubuh manusia dengan memerlukan waktu pemeriksaan 4 jam. Tahun 1977 bersama Paul Luterbur menyempurnakan dan resmi menjadi salah satu instrumen pencitraan medik.

PRINSIP DASAR MRI
Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air ( H2O ) yang mengandung 2 atom hydrogen yang memiliki no atom ganjil ( 1) yang pada intinya terdapat satu proton. Inti hydrogen merupakan kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh manusia yaitu 1019 inti/ mm3 , memiliki konsentrasi tertinggi dalam jaringan 100 mmol/ Kg dan memiliki gaya magnetic terkuat dari elemen lain.
Dalam aspek klinisnya, perbedaan jaringan normal dan bukan normal didasarkan pada deteksi dari kerelatifan kandungan air ( proton hydrogen ) dari jaringan tersebut. Proton proton memiliki prilaku yang hampir sama dengan prilaku sebuah magnet. Sebab proton merupakan suatu partikel yang bermuatan positif dan aktif melakukan gerakan mengintari sumbunya ( spin ) secara kontinyu. Secara teori jika suatu muatan listrik melakukan pergerakan maka disekitarnya akan timbul gaya magnet dengan demikian proton proton dapat diibaratkan seperti magnet magnet yang kecil ( Bar Magnetic ). Secara ringkas prosedur pembentukan gambar pada pemeriksaan MRI adalah pasien diletakan dalam medan magnet yang kuat selanjutnya dipancarkan sebuah gelombang radio, ketika gelombang radio dimayikan ( turn off ) pasien memancarkan signal yang berasal dari proton proton tubuh pasien dan signal tersebut akan diterima oleh antenna dan dikirim ke sisitem komputer untuk direkonstruksi menjadi gambar. Proses terjadinya signal MRI yang berasal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika yaitu : Fase Presesi ( Magnetisasi ), Fase Resonansi dan Fase Relaksasi.

FASE PRESESI
Telah diketahui inti sebuah atom terdiri dari neutron yang tidak bermuatan ( netral ) dan proton yang bermuatan positif. Proton proton yang bersifat magnetic memiliki medan magnet yang mengarah pada 2 kutub ( utara dan selatan ) mirip
dengan sebuah magnet kecil ( sebagaimana yang telah dijelaskan ) sehingga proton proton dengan kutubnya tersebut lazim disebut “ Magnetic Dipole “. Pada atom dengan nomor atom genap, inti atom ( partikel elementer ) akan berpasang pasangan sehingga saling meniadakan efek magnetik masing masing dengan demikian tidak terdapat inti bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi sehingga sulit untuk
dirangsang agar terjadi pelepasan signal. Sebaliknya atom atom dengan nomor atom ganjil memiliki inti atom bebas yang akan menghasilkan jaringan magnetisasi, sehingga materi lain selain hydrogen ( dengan 1 proton pada intinya ) juga memungkinkan pengembangan pemeriksaan MRI pada jaringan yang mengandung natrium ( NA 23- Proton 11 dan neutron 12 ), phospor ( NA 31 – 15 proton dan 16 neutron ) dan Potassium ( NA 39-19 proton dan 20 neutron ).
Dalam keadaan normal proton proton hydrogen dalam tubuh tersusun secara acak sehingga tidak dihasilkan jaringan magnetisasi. Ketika pasien dimasukan kedalam medan magnet yang kuat dalam pesawat MRI, magnetik dipole ( proton proton ) tubuh pasien akan searah ( parallel ) dan tidak searah ( antiparallel ) dengan kutub medan magnet pesawat. Selisih proton proton yang searah dan berlawanan arah amat sedikit dan tergantung kekuatan medan magnet pesawat dan selisih inilah yang akan merupakan inti bebas ( tidak berpasangan ) yang akan membentuk jaringan magnetisasi. Berikut skema perbedaan kekuatan medan magnet terhadap terjadinya proton proton bebas pada setiap 2 juta dipole ;

0.5 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 3
1 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 6
1.5 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 9

Sebagai contoh dapat dikemukan sebagai berikut :
Misal pada pesawat MRI dengan kekuatan medan magnet 1,5 tesla dan ukuran
Voxel adalah 2 x 2 x 5 mm = 20 mm3 berarti volume isi adalah 0,02
ml. Jika yang diperiksa adalah unsur air ( H2O ) maka :
Massa relatif ( Mr ) molekul H2O adalah 18 ( O16 dan 2H1 ), dengan jumlah
mol atom hydrogen dalam air adalah 2 mol. ( sebab dalam 1 molekul air
terdapat 2 mol hydrogen ) sehingga kandungan partikel proton hydrogen dalam 1
molekul air adalah 2 x 6,02 x 1023. 6,02 x 1023 adalah bilangan avugardo.
Yaitu = ketetapan yang menyatakan terdapat 6,02 x 1023 partikel dalam 1 mol /
unsure. Berarti dalam 1 molekul air terdapat partikel proton hydrogen
sebanyak 2 x 6,02 x 1023 partikel proton. Dalam 1 voxel air terdapat 1,388 x
1021 total proton hydrogen.
Jika kekuatan medan magnet pesawat MRI adalah 1,5 Tesla maka akan diperoleh
jumlah proton bebas yang membentuk jaringan dalam 1 voxel air yaitu : 1,388 x
1021 x 9 / 2 x 106 = 6.02 x 1015 proton.


Dipole yang membentuk jaringan magnetisasi tersebut cenderung dengan arah kurub medan magnet pesawat MRI ( B0 ) – dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis ). Jaringan magnetisasi itu sulit diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari dipole dipole tersebut dengan menggunakan gelombang radio.
Dipole – dipole selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing ( spinning to toy ) yang disebut gerakan presesi ( lihat gambar )
Frekuensi gerakan presesi tergantung pada jenis atom dan kekuatan medan magnet luar yang mempengaruhinya ( kekuatan medam magnet pesawat MRI ). Frekuensi presesi dapat dihitung berdasarkan rumus larmor berikut ini :
WO = Y . BO

Dimana : WO ( Omega Zerio ) = frekuensi presesi atau resonansi manetio
( 2,13 MHZ – 85 MHZ )
Y ( gamma ) = konstanta giromagnetik proton
( hydrogen 42,8 MHZ/Tesla )
BO = kekuatan medan magnet ( Tesla )
Dipole yang membentuk jaringan magnetisasi tersebut cenderung dengan arah kurub medan magnet pesawat MRI ( B0 ) – dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis ). Jaringan magnetisasi itu sulit diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari dipole dipole tersebut dengan menggunakan gelombang radio.
Dipole – dipole selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing ( spinning to toy ) yang disebut gerakan presesi
FASE RESONANSI
Mengetahui secara tepat frekuensi presesi proton proton sangat mutlak untuk menentukan besarnya frekuensi presesi gelombang radio ( RF ) yang akan dipancarkan untuk mengubah arah orientasi dipole yang membentuk jaringan magnetisasi.
Ketika proton proton hydrogen mengalami 1 presesi, maka proton proton akan mudah menyerap energi luar. Pada saat fase presesi itulah gelombang radio (RF) dipancarkan dan proton proton hydrogen akan menyerapnya dan mulai bergerak meninggalkan arah longitudinal ( L direction ) yang sejajar dengan arah kutub magnet pesawat menuju kearah transversal ( Tegak lurus terhadap sumbu medan magnet pesawat) dan menghasilkan magnetisasi transversal. Proton proton yang dapat dipengaruhi oleh gelombang radio hanyalah proton proton yang memiliki frekuensi presesi yang sama dengan frekuensi gelombang radio.
Fase proton proton bergerak meninggalkan sumbu longitudinal menuju arah transversal disebut sebagai fase resonansi.

FASE RELAKSASI
Ketika proton proton hydrogen berada pada bidang transversal, akan menginduksikan signal dalam bentuk gelombang elektromagnetik ( dikenal dengan MRI ) yang akan diterima oleh sebuah kumparan ( antenna ) penerima disisi pesawat MRI. Saat pancaran frekuensi radio dihentikan ( turn off ) proton proton secara perlahan lahan kehilangan energinya dan mulai bergerak meninggalkan arah transversal ( decay ) menuju kembali kearah longitudinal ( recovery ) sambil melepaskan energi yang diserapnya dari gelombang radio dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang dikenal sebagai SIGNAL MRI, fase ini disebut fase relaksasi.
Fase relaksasi dibagi menjadi T1 dan T2. T1 didefenisikan sebagai waktu yang diperlukan proton proton hydrogen sekitar 63% telah berada kembali dalam arah longitudinal ( magnetisasi longitudinal ). T1 mencerminkan tingkat trnsfer energi frekuensi radio ( RF ) dari proton proton keseluruh jaringan sekitar ( Tissue-Lattice ) sehingga T1 biasa pula dikenal; istilah “ Spin Lattice-Relaxation”, dimana besar T1 tergantung pada konsentrasi dan kepadatan proton serta struktur kimiawi dari materi jaringan yang diperiksa ( Macromolecul enveiroment ). Jika T1 makin lama maka diperoleh signal yang makin besar.
Ketika pemberian gelombang radio 900 ( memutar proton proton ke arah transversal ) diperoleh signal dari arah transversal maksimum. Namun ketika RF 900 dihentikan magnetisasi transversal yang memancarkan signal awal maksimum berangsur angsur mulai berkurang ( Decay ). Awalnya presesi proton proton berada dalam laju dan arah yang sama ( fase yang sama ) namun secara perlahan satu sama lain keluar dari fase yang satu tersebut ( Dephasing ) disebabkan terjadinya interaksi masing proton dengan proton proton disekitarnya ( spin-spin interaction ). Interaksi spin spin merupakan suatu mekanisme tambahan yang dikonstribusikan oleh kenyataan bahwa medan magnetic eksternal dari pesawat MRI tidak betul betul
seragam ( homogen ) sehingga menghasilkan magnetisasi proton proton lokal yang tidak homogen ( local inhomogeneity ). Local inhomogeneity meningkatkan interksi spin spin dan mempercepat dephasing sehingga mempercepat penurunan besarnya signal ( signal decay ) ke nilai nol. Hal ini berarti terdapat adanya signal yang hilang ( loss of signal ). Waktu yang diperlukan proton proton dari keadaan magnetisasi transversal berkurang hingga sekitar 37 % saja merupakan nilai T2 yang sebenarnya. Kehilangan signal yang diakibatkan oleh medan magnetic lokal yang tidak homogen tersebut, menutupi nolai T2 yang sebenarnya. Nilai T2 yang diakibatkan oleh adanya medan magnetic yang tidak homogen diberi symbol T2*.
Nilai T1, T2 dan efek T2* terhadap nilai T2 yang sebenarnya dapat diperlihatkan pada kurva berikut :
Pada gambar ( A ) nilai T1 lebih cepat pada jaringan padat ( solid) dibandingkan cairan ( liquid ). Gambar ( B ) menunjukan defenisi T2 dan gambar ( C ) menunjukan efek T2* terhadap nilai T2 yang sebenarnya.
Medan magnetic lokal yang tidak homogen mengakibatkan terjadinya gerakan presesi proton proton yang tidak seragam ( acak ) sehingga menyebabkan terjadinya saling interaksi diantara mereka dengan demikian tidak ada signal yang terdeteksi sehingga seolah olah ada kehilangan signal ( loss of signal ). Hadirnya T2* mempersepat signal menuju ke nol, oleh karena itu prosedur pemeriksaan MRI salah satunya adalah mengurangi atau menghilangkan efek T2*, sehingga diperileh nilai T2 yang sebenarnya. Jika nilai T2 besar maka signal yang dihasilkan juga besar. Jadi proses deohasing diakibatkan oleh hasil interaksi spin spin yang sebenarnya dan interaksi spin spin akibat medan magnet yang tidak homogen ( T2* ).

Ringkasan Prinsip Dasar Pemeriksaan MRI
Secara ringkas dapat disimpulakan kejadian dan langkah – langkah pemeriksaan MRI sebagai berikut :
1. Penderita sebelum dimasukan kedalam medan magnet pesawat MRI, proton proton dalam tubuh tersusun secara acak, sehingga tidak ada jaringan magnetisasi.
2. Penderita ditempatkan dalam medan magnet, terjadi magnetisasi proton posisi parallel dan anti parallel serta melakukan gerakan presesi.
3. Pemberian gelombang radio ( RF ) proton menyerap energi dari gelombang radio tersebut dan melakukan magnetisasi ke arah transversal ( Fase Resonansi ).
4. Penghentian gelombang radio menyebabkan relaksasi ( kembali ke posisi awal ) dimana proton proton melepaskan energi berupa signal- signal elektromagnetik ( Signal MRI ).
5. Signal- signal diterima oleh sebuah koil antenna penerima.
6. Selanjutnya signal- signal tersebut diubah menjadi pulsa listrik dan dikirim ke sistem komputer untuk diubah menjadi gambar.

Untuk memperoleh nilai T1 dan T2 yang tidak dipengaruhi oleh T2* dibutuhkan rangkaian pulsa khusus ( special pulse sequence ) yaitu : Saturation Recovery, Inversion Recovery, dan Spin Echo Sequence.

SIGNIFIKASI SIGNAL MRI
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan signal MRI yaitu :
1. Medan Magnet Utama
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kekuatan medan magnet luar ( magnet pesawat MRI ) mempengaruhi jumlah proton-proton bebas yang membentuk jaringan magnetisasi ( Proton-proton parallel yang tidak memiliki pasangan anti parallel ). Semakin besar kekuatan medan magnet utama maka semakin besar pula jumlah proton-proton bebas yang membentuk jaringan magnetisasi sehingga secara keseluruhan akan memberikan akumulasi signal yang semakin besar pula.
2. Proton Density ( Chemical Shift dan Dimensi Jaringan )
Jika materi yang diperiksa memiliki kandungan proton yang besar maka akan semakin banyak pula proton-proton bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi dihasilkan jika dibandingkan dengan materi yang memiliki kandungan proton-proton lebih kecil pada kuat medan magnet yang sama. Pada dasarnya kandungan proton ini dalam pemeriksaan MRI tergantung pada kandungan ( kadar ) air yang merupakan salah satu material dari komposisi kimia penyusun jaringan yang diperiksa.
3. Waktu Relaksasi ( T1 dan T2 )
Waktu relaksasi terdiri atas T1 dan T2. jika T1 lama maka diperoleh jumlah signal yang semakin besar pula sebaliknya jika T2 lama diperoleh signal yang semakin kecil.
Berikut ini tabel hubungan T1 dan T2 terhadap bermacam-macam jaringan tubuh pada medan magnet 1 Tesla :
T I S S U E T1 ( mill second ) T2 (mill second )
Fat 180 90
Liver 270 50
Renal Cortex 360 70
White Matter 390 90
Splien 480 80
Gray Matter 390 100
Muscle 600 40
Renal Medulla 680 140
Blood 800 180
Cerebro Spinal Fluid 2000 3000
Water 2500 2500

4. Gerakan Fisiologi ( Flow Phenomena )




Baca Selengkapnya..